Sikap Pertengahan Ahlussunnah Terhadap Para Habaib dan Ahlul Bait

Syaikh Abdul Muhsin Al Abbad –hafizhahullah– memaparkan:

“Ahlussunnah wal jama’ah dalam semua permasalahan aqidah, selalu mengambil yang pertengahan antara ekstrim kiri dan ekstrim kanan, antara berlebih-lebihan dan sikap lembek. Termasuk juga aqidah terhadap ahlul bait Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam. Ahlussunnah mencintai setiap muslim dan muslimah yang merupakan termasuk Bani Abdul Muthallib, mereka juga mencintai para istri Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam. Ahlussunnah mencintai mereka, memuji mereka, menempatkan mereka pada kedudukan yang layak secara adil, bukan berdasarkan hawa nafsu atau serampangan. Ahlussunnah mengenal dengan baik keutamaan ahlul bait, karena dalam diri-diri mereka terdapat kemuliaan iman sekaligus kemuliaan nasab”.

Beliau melanjutkan:

“Orang yang Allah takdirkan untuk memiliki keduanya (kemuliaan iman dan nasab), maka telah terkumpul pada dirinya dua kebaikan. Namun jika keluhuran nasab tidak disertai keluhuran iman, maka ketahuilah bahwa keluhuran nasab tidak bermanfaat sama sekali. Allah Ta’ala berfirman:

إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِندَ اللهِ أَتْقَاكُمْ

“Orang yang paling mulia di sisi Allah adalah yang paling bertaqwa” (QS. Al Hujurat: 13).

Dalam sebuah hadits yang panjang, yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu, di akhir hadits, Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

ومَن بطَّأ به عملُه لَم يُسرع به نسبُه

“Orang yang lambat amalnya, tidak bisa dipercepat oleh nasabnya” (HR. Muslim no. 2699)”

(Fadhlu Ahlil Bait wa ‘Uluwwu Makanatihim, hal.14).

Dengan demikian, sudah selayaknya bagi setiap muslim untuk mencintai ahlul bait nabi baik yang sudah wafat maupun yang masih ada sampai hari ini.

Namun dengan catatan, jika orang yang mengaku ahlul bait bersama keluhuran nasabnya tersebut ternyata tidak membawa keluhuran iman, atau bahkan ia menjadi gembong kemaksiatan, kebid’ahan atau kemusyrikan, maka ia tidak berhak mendapatkan kecintaan itu. Bukankah Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

فإنما أهلك الذين مَن قبلكم ، أنهم كانوا إذا سرق فيهم الشريفُ ، تركوه . وإذا سرق فيهم الضعيفُ ، أقاموا عليه الحدَّ . وإني ، والذي نفسي بيدِه ! لو أنَّ فاطمةَ بنتَ محمدٍ سرقت لقطعتُ يدَها

“Sungguh yang membuat kaum sebelum kalian binasa, jika ada seorang pencuri dari kalangan orang bermartabat maka dibiarkan. Sedangkan jika pencuri dari kalangan orang lemah, barulah ditegakkan hukuman. Demi Allah, andaikan Fathimah binti Muhammad mencuri, akan aku potong tangannya” (HR. Al Bukhari 3475, 4304, 6788, Muslim 1688, dan ini adalah lafadz Muslim).

Jika kepada putri beliau, yang juga ahlul bait beliau, hukum Islam tetap di ditegakkan maka bagaimana lagi dengan keturunan beliau yang sudah sangat jauh dari beliau di zaman ini?

Maka perkataan, tindak-tanduk, dan keyakinan para Habaib dan Ahlul Bait tetap harus ditimbang dengan Al Qur’an dan As Sunnah. Jika sesuai dengan Al Qur’an dan As Sunnah, maka kita ikuti. Jika bertentangan dengan Al Qur’an dan As Sunnah, maka tidak kita ikuti.

Selengkapnya:

https://buletin.muslim.or.id/mencintai-ahlul-bait/

 

Status Ustadz Yulian Purnama حفظه الله تعالى.

Diterbitkan Minggu, 6 Desember 2020

Link: https://web.facebook.com/yulian.purnama