Ibnul Qayyim rahimahullaah (wafat: 751-H) dalam kitabnya Madaarijus Saalikiin (1/209-210, Cet.-3, Daarul Kitab al-‘Arobi – Beirut) menuliskan permisalan yang sangat indah, tentang mereka yang senantiasa menghitung-hitung musibah dan melupakan nikmat-nikmat Allah, padahal dialah penyebab utama dari segenap musibah yang menimpanya:
وَلَوْ عَلِمَ هَذَا الظَّالِمُ الْجَاهِلُ أَنَّهُ هُوَ الْقَاعِدُ عَلَى طَرِيقِ مَصَالِحِهِ يَقْطَعُهَا عَنِ الْوُصُولِ إِلَيْهِ، فَهُوَ الْحَجَرُ فِي طَرِيقِ الْمَاءِ الَّذِي بِهِ حَيَاتُهُ، وَهُوَ السُّكْرُ الَّذِي قَدْ سَدَّ مَجْرَى الْمَاءِ إِلَى بُسْتَانِ قَلْبِهِ، وَيَسْتَغِيثُ مَعَ ذَلِكَ: الْعَطَشَ الْعَطَشَ، وَقَدْ وَقَفَ فِي طَرِيقِ الْمَاءِ، وَمَنَعَ وُصُولَهُ إِلَيْهِ، فَهُوَ حِجَابُ قَلْبِهِ عَنْ سِرِّ غَيْبِهِ، وَهُوَ الْغَيْمُ الْمَانِعُ لِإِشْرَاقِ شَمْسِ الْهُدَى عَلَى الْقَلْبِ، فَمَا عَلَيْهِ أَضَرُّ مِنْهُ، وَلَا لَهُ أَعْدَاءٌ أَبْلَغُ فِي نِكَايَتِهِ وَعَدَاوَتِهِ مِنْهُ.
مَا تَبْلُغُ الْأَعْدَاءُ مِنْ جَاهِلٍ … مَا يَبْلُغُ الْجَاهِلُ مِنْ نَفْسِهِ
فَتَبًّا لَهُ ظَالِمًا فِي صُورَةِ مَظْلُومٍ، وَشَاكِيًا وَالْجِنَايَةُ مِنْهُ، قَدْ جَدَّ فِي الْإِعْرَاضِ وَهُوَ يُنَادِي: طَرَدُونِي وَأَبْعَدُونِي
Andaikata si durhaka lagi jahil ini mengetahui; dialah yang justru duduk di atas jalan kemaslahatan bagi dirinya sendiri, dia memutus jalan kemaslahatan tersebut untuk bisa sampai padanya. Dia layaknya seonggoh batu yang menghalangi aliran air kehidupan untuk dirinya. Ia laksana pemabuk yang menyumbat laju air menuju kebun hatinya, bersamaan dengan itu dia berseru minta tolong: “haus…., haus…!!” Sementara dia berdiam diri di atas aliran air, namun tidak sedikitpun manfaat air tersebut ia dapatkan. Maka dia pada hakikatnya adalah tirai penutup hatinya. Dia sendiri pada hakikatnya adalah awan kelam yang menghalangi sinar hidayah bagi hatinya, tidak ada yang lebih berbahaya bagi hatinya selain dia sendiri (pemilik hati tersebut), dan tidak ada musuh yang lebih mengganggu dan memusuhi selain dirinya sendiri. (Sebagaimana ungkapan sya’ir):
“Musuh tak mampu mengakibatkan kerugian pada orang bodoh…..sedahsyat kerugian yang mampu diakibatkan oleh orang bodoh tersebut pada dirinya sendiri.”
Maka celakalah ia, Si Zalim dalam wujud orang yang terzalimi, Si Pengeluh (karena masalah yang menimpanya) padahal ia sendiri adalah biang kerok masalah tersebut, (celakalah ia) Si Pembangkang yang menjauh, namun justru berkoar-koar: “mereka telah mencampakkan dan menelantarkan aku.”
Demikianlah keadaan kita manusia…
yang selalu ingin menjadi orang lain, yang senantiasa melihat dengan kacamata “betapa malangnya nasibku dan betapa untungnya dia”.
Seolah-olah (menurut dia), tidak ada yang luput dan terlupakan dari rahmat dan pemberian Allah kecuali dirinya. Tidak heran jika al-Qur’an bertutur:
إِنَّ الإنْسَانَ لِرَبِّهِ لَكَنُودٌ
“Sesungguhnya manusia itu (kanuud[1]) sangat ingkar, tidak berterima kasih kepada Tuhannya.” [QS. Al-‘Aadiyaat: 6]
al-Hasan al-Bashri rahimahullaah mengungkapkan:
هُوَ الْكَفُوْرُ الَّذِيْ يُعِدُّ الْمَصَائِبَ وَيَنْسَى نِعَمَ رَبِّهِ
“Dialah orang yang sangat kufur (akan nikmat), senantiasa menghitung-hitung musibah yang menimpanya, namun melupakan nikmat dan anugerah dari Rabbnya.” [Tafsir ath-Thabari: 24/566, Tahqiq: Ahmad Muhammad Syaakir]
Tanpa sadar….,
kita telah terjebak dalam penjara jiwa yang jauh lebih menyakitkan ketimbang penjara yang kita kenal. Akar masalah semua ini adalah;
Hilangnya kesetiaan ibadah, cinta, dan pengagungan pada Allah, Dzat yang telah menciptakan dan memelihara kita dengan kasih sayang-Nya. Cinta dan pengagungan tersebut, telah “berselingkuh” dengan memalingkan lirikan mata pada kemilau dunia, manisnya harta, dan nyamannya tahta.
Maka lihatlah bukti-bukti kedermawanan-Nya, kebaikan, dan kelembutan-Nya, lalu bandingkan dengan pengkhianatan yang telah kita lakukan pada-Nya. Berapa banyak rizki dan anugerah yang telah diinfakkan-Nya pada segenap makhluk yang menghuni langit dan bumi semenjak keduanya diciptakan? Lalu pantaskah Dzat yang memiliki kedermawanan Maha Sempurna ini diduakan dalam ibadah, cinta, dan pengagungan?
Saat cinta dan pengagungan terhadap Allah sesak memenuhi jiwa, maka adakah ruang yang tersisa bagi selain-Nya?
“Harta” dan “tahta” bukanlah suatu hal yang terlalu spesial sehingga pantas untuk dilirik dengan mata penuh ambisi, lantas menjadikan kita budaknya. Sebagaimana “sederhana” dan “menjadi orang biasa”, bukanlah suatu hal yang menyiksa batin, sehingga pantas untuk disesali dan dikeluh kesahkan. Inilah perasaan yang muncul di hati mereka yang menjadikan Allah sebagai satu-satunya tujuan dalam cinta dan pengagungan.
***
Lombok, 9 Syawwal 1433-H / 27-08-2012
Johan Saputra Halim (Abu Ziyan)
alhujjah.com | Telegram: t.me/kristaliman
[1] Disebutkan dalam Qaamus al-Muhiith (hal. 316, Cet.-8, Mu-assasah ar-Risalah) karya al-Fairuuz Abaadi (wafat: 817-H) bahwa dahulu ada seorang laki-laki dari Yaman bernama Naur ibn ‘Ufair Abu Hayyin yang dijuluki Kindiy (seakar dengan kata “kanuud” dalam ayat di atas), julukan ini diambil dari akar kata “الكِنْدَةُ” (al-kindah) yang berarti “القَطْعُ” (al-qoth’u: pemutusan), konon dia dijuluki demikian karena dia bersikap durhaka, kufur atas nikmat-nikmat yang diberikan oleh Ayahnya.
Ditulis Ustadz Johan Saputra Halim حفظه الله تعالى.
Diterbitkan Kamis, 6 Juni 2020