Pada awal berdirinya dinasti Abbasiyah khalifah pertamanya berpindah pindah dari satu kota ke kota lain.
Semula di kota Kufah, lalu berpindah lagi ke Hamam A’yun untuk beberapa bulan, kemudian berpindah lagi ke daerah Hasyimiyah, untuk kemudian berpindah lagi ke istana Ibnu Hubairah, dan untuk selanjutnya berpindah lagi ke daerah Anbar hingga akhir hayatnya.
Setelah tampuk khilafah dipegang oleh Khalifah Abu Ja’far Al Manshur, beliau melanjutkan pencarian tempat yang paling tepat untuk menjadi pusat pemerintahan dinastinya.
Dari sekian banyak opsi tempat yang dapat dijadikan pusat ibu kota dinastinya, akhirnya Abu Ja’far Al Manshur memilih padang pasir yang luas jauh dari kota kota lainnya, untuk dibangun satu kota baru dan kemudian kota baru itu diberi nama Madinatussalam, yang kemudian dikenal dengan sebutan Baghdad.
Banyak alasan yang mendorong para pemimpin Abbasiyah membangun ibu kota baru, bukan meneruskan ibu kota pemerintahan Dinasti sebelumnya, Madinah Atau Damasqus.
Salah satunya ialah karena para penguasa Abbasiyah merasa tidak cukup aman untuk tinggal di kota Kufah, dibuktikan dengan adanya pemberontakan kelompok Ar Rawandah yang hampir hampir saja merenggut jiwa sang khalifah. Apalagi tinggal di kota Damasqus yang merupakan pusat kota dinasti sebelumnya.
Diantara alasannya karena sang Khalifah ingin membangun kekuatan militer yang tangguh sehingga loyalitas pasukannya tidak mudah terkontaminasi oleh orang lain yang berinteraksi dengan mereka.
Dan diantaranya tidak mudah bagi pasukan musuh untuk menyusup, karena penduduk ibu kota baru benar benar berada dalam pantauan pasukan sang khalifah.
Patut dicatatkan bahwa perpindahan ibu kota Khalifah yang semua di Madinah, kemudian Damasqus, dan kemudian Baghdad tidak menjadikan kota lama menjadi mati.
Sebagaimana ibu kota baru yang dipilih atau dibangun oleh Dinasti Yang Berkuasa juga berhasil menjadi kota besar dan pusat peradaban baru.
Ya, ibu kota baru Dinasti Abbasiyah walau dibangun di tengah hamparan padang pasir luas, namun dalam waktu singkat menjelma menjadi kota besar, pusat peradaban, dan pusat literasi masyarakat kala itu, sampai sampai sekelas para imampun berbondong bondong tinggal di ibu kota baru.
Sebut saja Imam Muhammad bin Hasan As Syaibani, Ahmad bin Hambal, As Syafii, Yahya bin Ma’in, Abu Tsaur, Abu Bakar Ar Razi, dan masih banyak lagi.
Ditulis oleh Ustadz : Dr Muhammad Arifin Badri
Diterbitkan pada : 30 Januari 2022