Di antara adab yang perlu diperhatikan dalam berpakaian adalah hendaknya tidak menyelisihi kebiasaan masyarakat setempat, berusaha menggunakan pakaian yang biasa digunakan masyarakat, selama tidak terdapat pelanggaran syari’at.
Dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu, beliau mengatakan:
بَيْنَمَا النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَعَ أَصْحَابِهِ جَاءَهُمْ رَجُلٌ مِنْ أَهْلِ الْبَادِيَةِ فَقَالَ: أَيُّكُمُ ابْنُ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ؟
“Ketika Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam sedang bersama para sahabatnya, datanglah seorang lelaki Badwi lalu bertanya: ‘siapakah diantara kalian yang merupakan cucu Abdul Muthalib?’”
Dalam riwayat lain:
بينما نحن جلوسٌ مع النبيِّ صلَّى اللهُ عليهِ وسلَّم في المسجدِ، دخل رجلٌ على جَمَلٍ، فأناخه في المسجدِ ثم عَقَلَهُ، ثم قال لهم : أَيُّكم مُحَمَّدٌ ؟
“Ketika Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam sedang bersama para sahabatnya, datanglah seorang lelaki sambil menunggang unta, lalu ia meminggirkan untanya di masjid kemudian mengikatnya. Ia bertanya: ‘siapakah diantara kalian yang bernama Muhammad?” (HR. Bukhari no. 63, Muslim no. 12).
Jadi lelaki Badwi ini hendak mencari Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam, seorang Rasul, namun dia melihat tidak ada orang penampilannya mencolok atau beda sendiri. Sehingga dia perlu untuk bertanya. Ini menunjukkan bahwa Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam berbusana dan berpenampilan sebagaimana para sahabat, tidak beda sendiri, tidak mencolok perhatian, walaupun beliau seorang yang paling mulia di antara mereka.
Pakaian yang dipakai oleh Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam berupa jubah, gamis, imamah dan lainnya, bukan beliau gunakan dalam rangka tasyri’ (menjelaskan syari’at). Namun dalam rangka mengikuti pakaian masyarakat setempat. Syaikh Abdullah bin Shalih Al Fauzan menjelaskan:
كلباسه صلى الله عليه وسلم فهذا النوع مباح لم يقصد به التشريع فلا استحباب للمتابعة، لأن اللباس منظور فيه إلى العادة التي اعتادها أهل البلد ولهذا لم يغير الرسول صلى الله عليه وسلم لباسه الذي كان يلبسه قبل النبوة، وإنما وضع الإسلام شروطاً وضوابط للباس الرجل والمرأة تستفاد من الكتاب والسنة
“Seperti pakaian yang digunakan Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam. Ini jenis perbuatan beliau yang tidak dimaksudkan untuk tasyri’. Maka tidak ada anjuran untuk mengikutinya. Karena masalah pakaian adalah masalah yang perlu melihat kepada kebiasaan masyarakat setempat.
Oleh karena itu, Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam tidak mengubah cara berpakaian beliau sehingga berbeda dengan sebelum beliau menjadi Nabi.
Namun Islam memberikan syarat-syarat dan kaidah-kaidah dalam berpakaian bagi laki-laki dan wanita, yang bersumber dari Al Qur’an dan As Sunnah” (Syarhul Waraqat, 128 – 129).
Selain itu, Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam juga melarang menggunakan libas syuhrah (pakaian ketenaran). Dari Abdullah bin Umar radhiallahu ’anhu, Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
مَنْ لَبِسَ ثَوْبَ شُهْرَةٍ فِي الدُّنْيَا أَلْبَسَهُ اللَّهُ ثَوْبَ مَذَلَّةٍ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“Siapa yang memakai pakaian syuhrah di dunia, maka Allah akan memberinya pakaian hina pada hari kiamat.” (HR. Abu Daud no.4029, An An Nasai dalam Sunan Al-Kubra no,9560, dan dihasankan Al Albani dalam Shahih Al Jami no.2089).
Libas syuhrah adalah pakaian yang membuat pemakainya menjadi populer dan menjadi perhatian orang-orang banyak. Diantara bentuk libas syuhrah adalah ketika menyelisihi kebiasaan masyarakat setempat.
Dari semua penjelasan di atas, kesimpulannya, hendaknya dalam berpakaian kita memperhatikan apa yang biasa dipakai oleh masyarakat setempat.
Demikianlah para ulama kita memberi bimbingan. Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin ketika ditanya hukum memakai imamah, beliau menjelaskan:
لبس العمامة ليس من السنن لا المؤكدة ولا غير المؤكدة لأن النبي صلى الله عليه وعلى آله وسلم كان يلبسها اتباعا للعادة التي كان الناس عليها في ذلك الزمن، ولهذا لم يأت حرف واحد من السنة يأمر بها فهي من الأمور العادية التي إن اعتادها الناس فليلبسها الإنسان لئلا يخرج عن عادة الناس فيكون لباسه شهرة، وإن لم يعتدها الناس فلا يلبسها هذا هو القول الراجح في العمامة
“Memakai imamah bukanlah sunnah. Bukan sunnah muakkadah ataupun sunnah ghayru muakkadah. Karena Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam dahulu memakainya dalam rangka mengikuti adat pakaian yang dikenakan orang setempat pada waktu itu. Oleh karena itu tidak ada satu huruf pun dari hadits yang memerintahkannya. Maka memakai imamah termasuk perkara adat kebiasaan yang biasa dilakukan orang-orang. Seseorang memakainya dalam rangka supaya tidak keluar dari kebiasaan orang setempat, sehingga kalau memakai selain imamah, pakaiannya malah menjadi pakaian syuhrah. Jika orang-orang setempat tidak biasa menggunakan imamah maka jangan memakainya. Inilah pendapat yang rajih dalam masalah imamah.”
Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani juga menjelaskan: “Imamah, paling maksimal bisa jadi hukumnya mustahab (sunnah). Namun yang rajih, memakai imamah adalah termasuk sunnah ‘adah (adat kebiasaan), bukan sunnah ibadah” (Silsilah Adh Dha’ifah, 1/253, dinukil dari Ikhtiyarat Imam Al Albani, 480).
Al Lajnah Ad Daimah juga ketika ditanya tentang menggunakan pakaian laki-laki setinggi setengah betis, mereka menjawab:
لباس الرجل يكون ما بين نصف الساق إلى الكعب، وإذا كان المجتمع الذي يعيش فيه اعتادوا حدًا معينا في ذلك كإلباسهم إلى الكعب، فالأفضل أن لا يخالفهم في ذلك ما دام فعلهم جائزا شرعا والحمد لله
“Pakaian lelaki itu hendaknya antara setengah betis sampai mata kaki. Jika masyarakat setempat menganggap biasa suatu batas ukuran tertentu, seperti ketika mereka menganggap biasa pakaian yang sebatas mata kaki, maka yang utama adalah tidak menyelisihi mereka. Selama apa yang jadi kebiasaan tersebut dibolehkan dalam syariat. Walhamdulillah” (Fatawa Al Lajnah, 24/11-12).
CATATAN PENTING
Jika pakaian yang menjadi kebiasaan masyarakat terdapat pelanggaran syariat, maka tidak boleh mengikutinya. Bahkan wajib menyelisihinya walaupun dipandang aneh atau menjadi perhatian. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
مَنِ الْتَمَسَ رِضَاءَ اللَّهِ بِسَخَطِ النَّاسِ كَفَاهُ اللَّهُ مُؤْنَةَ النَّاسِ وَمَنِ الْتَمَسَ رِضَاءَ النَّاسِ بِسَخَطِ اللَّهِ وَكَلَهُ اللَّهُ إِلَى النَّاسِ
“Barangsiapa mencari ridha Allah ketika orang-orang tidak suka, maka akan Allah cukupkan ia dari beban manusia. Barangsiapa yang mencari ridha manusia, dengan kemurkaan Allah. Akan Allah buat ia terbebani oleh manusia“.
Dalam riwayat lain:
من التمس رِضا اللهِ بسخَطِ الناسِ ؛ رضِيَ اللهُ عنه ، وأرْضى عنه الناسَ ، ومن التَمس رضا الناسِ بسخَطِ اللهِ ، سخِط اللهُ عليه ، وأسخَط عليه الناسَ
“Barangsiapa yang mencari ridha Allah walaupun orang-orang murka, maka Allah akan ridha padanya dan Allah akan buat manusia ridha kepadanya. Barangsiapa yang mencari ridha manusia walaupun Allah murka, maka Allah murka kepadanya dan Allah akan buat orang-orang murka kepadanya juga“ (HR. Tirmidzi no.2414, Ibnu Hibban no.276, dishahihkan Al Albani dalam Shahih At Tirmidzi).
Dan adat kebiasaan masyarakat itu tidak bisa mengharamkan yang halal dan tidak bisa menghalalkan yang haram. Ini perbuatan yang banyak dicela dalam Al Qur’an. Di antaranya Allah berfirman:
وَإِذَا قِيلَ لَهُمْ تَعَالَوْا إِلَى مَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَإِلَى الرَّسُولِ قَالُوا حَسْبُنَا مَا وَجَدْنَا عَلَيْهِ آبَاءَنَا أَوَلَوْ كَانَ آبَاؤُهُمْ لَا يَعْلَمُونَ شَيْئًا وَلَا يَهْتَدُونَ
“Apabila dikatakan kepada mereka: “Marilah mengikuti apa yang diturunkan Allah dan mengikuti Rasul”. Mereka (kaum Musyrikin Jahiliyah) menjawab: “Cukuplah untuk kami apa yang kami dapati bapak-bapak kami mengerjakannya”. Dan apakah mereka itu akan mengikuti nenek moyang mereka walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui apa-apa dan tidak (pula) mendapat petunjuk?” (QS. Al Maidah: 104).
Misalnya jika para wanita di suatu masyarakat biasa menggunakan pakaian yang tidak syar’i, atau bahkan tidak menutup aurat, maka tetap tidak boleh diikuti. Para wanita Muslimah wajib berpegang pada hijab syar’i dan tidak boleh mengikuti masyarakat.
Wallahu a’lam. Semoga bermanfaat.
Status Ustadz Yulian Purnama حفظه الله تعالى.
Diterbitkan Rabu, 23 September 2020