Memperingatkan Umat terhadap Da’i Menyimpang, bukan Berarti Mensucikan Diri Sendiri

Yahya bin Ma’in rahimahullah, seorang ulama ahlul hadits, imam dalam jarh wat ta’dil. Penilaian-penilaian Yahya bin Ma’in sangat diperhitungkan dalam menilai status perawi hadits. Walaupun demikian, beliau mengatakan:

إنا لنطعن على أقوام لعلهم قد حطوا رحالهم في الجنة منذ مائتي سنة

“Sesungguhnya kami mencela (menyebutkan jarh) orang-orang (yaitu para perawi hadits) yang bisa jadi akan menjejakkan kaki mereka di surga 200 tahun lebih dahulu” (Muqaddimah Ibnu Shalah, tahqiq Dr. Aisyah Abdurrahim, hal. 656).

Beliau tidak merasa lebih baik dari para perawi yang beliau cela.

Maka jika ada ulama atau ustadz Ahlussunnah yang memperingatkan umat agar menjauhi seorang yang menyimpang atau da’i yang sesat, bukan berarti ulama atau ustadz Ahlussunnah tersebut mensucikan dirinya, merasa pasti lebih baik, “meng-kavling surga”, merasa lebih shalih atau semisalnya. Tidak sama sekali.

Urusan surga, bisa jadi yang dikritik atau di-tahdzir itu lebih duluan masuk surga, lebih mulia derajatnya, lebih shalih. Karena tidak ada yang mengetahui perkara surga kecuali Allah, dan tidak ada yang mengetahui bagaimana akhir kehidupan setiap manusia kecuali Allah.

Namun tetap saja, penyimpangan dan kesesatan perlu diingkari dan diperingatkan. Untuk melindungi umat dari penyimpangan dan untuk menjaga kemurnian agama.

Sebagaimana dijelaskan Imam Ahmad bin Hambal rahimahullah. Ketika ada yang bertanya kepada beliau, “Anda lebih menyukai ketika seseorang yang rajin puasa, rajin shalat dan rajin i’tikaf ataukah ia bicara tentang ahlul bid’ah?”. Imam Ahmad menjawab:

إذا قام وصلى واعتكف فإنما هو لنفسه، وإذا تكلم في أهل البدع فإنما هو للمسلمين؛ هذا أفضل

“Jika seseorang beribadah, shalat, i’tikaf, maka itu semua untuk dirinya sendiri. Namun jika ia bicara tentang ahlul bid’ah, maka itu manfaatnya untuk kaum Muslimin, ini yang lebih utama”.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengomentari perkataan ini, beliau berkata:

فبَيَّنَ أن نفع هذا عام للمسلمين في دينهم من جنس الجهاد في سبيل الله، إذ تطهير سبيل الله ودينه ومنهاجه وشرعته ودفع بغي هؤلاء وعدوانهم على ذلك واجب على الكفاية باتفاق المسلمين، ولولا من يقيمه الله لدفع ضرر هؤلاء لفسد الدين

“Imam Ahmad menjelaskan bahwa menjelaskan penyimpangan ahlul bid’ah ini manfaatnya luas untuk kaum Muslimin, dan termasuk jihad fi sabilillah. Karena memurnikan jalan Allah, agama Allah, memurnikan cara beragama, memurnikan syari’at-Nya, serta mencegah kezaliman dari musuh-musuh Allah yang merusak agama, ini adalah wajib kifayah menurut kesepakatan ulama. Jika tidak ada orang yang Allah jadikan sebagai pembela agamanya, untuk mencegah dari bahaya mereka, maka agama akan rusak” (Majmu Al Fatawa, 28/231-232).

Dari sini juga kita paham, bahwa dalam menjelaskan penyimpangan ahlul bid’ah dan memperingatkan umat dari da’i sesat, butuh kepada niat yang ikhlas. Yaitu untuk menjaga kemurnian agama dan melindungi umat dari kesesatan.

Jangan sampai niat dikotori oleh urusan pribadi, sakit hati, menumpahkan emosi, mencari popularitas, mencari pujian dan niat-niat yang batil yang lainnya.

Semoga Allah ta’ala memberi taufik.

 

Ditulis Ustadz Yulian Purnama حفظه الله تعالى.

Diterbitkan Sabtu, 16 Januari 2021

Link: https://web.facebook.com/yulian.purnama

Topics: