Suatu ketika ada seorang yang mencaci maki *Asy-Sya’bi*, seorang ulama era tabiin. Setelah orang tersebut tuntas mengeluarkan caci makiannya, asy-Sya’bi memberi respon,
إِنْ كُنْتَ صَادِقًا فَغَفَرَ اللَّهُ لِيْ وَإنْ كُنْتَ كَاذِبًا فَغَفَرَ اللَّهُ لَكَ
“Jika caci makianmu benar adanya, semoga Allah memaafkan segala kesalahan dan kekuranganku. Sebaliknya jika ternyata caci makian yang kau tujukan kepadaku tidak sesuai dengan kenyataan, semoga Allah memaafkan dirimu” [Al-Aqd Al-Farid 2/135, Dar Al-Kutub Al-Ilmiyyah].
Allahu Akbar, betapa indahnya akhlak mulia.
Lapang dada ketika mendapatkan celaan dan cacian lantas meresponnya dengan bahasa yang elegan akan menyebabkan permasalahan tidak berlarut-larut.
Lain halnya jika cacian dibalas dengan cacian, permasalahan akan berkepanjangan.
Wajib disadari bahwa kita memiliki banyak kekurangan dan keburukan. Andai bukan karena kebaikan Allah yang menutupinya tentu tidak ada orang yang rela dekat-dekat dengan kita.
Ketika ada orang yang mencela dan mencaci ada kemungkinan sebagian dari konten cacian itu benar adanya. Respon yang tepat untuk hal ini adalah bertaubat dan mengakui kesalahan meski ada orang yang ‘menasehati’ dalam bungkus cacian.
Namun jika konten cacian itu fitnah dan kebohongan, pelakunya layak untuk dikasihani dan didoakan agar segala dosanya diampuni.
Status Ustadz Aris Munandar, SS, MPI حفظه الله تعالى.
Diterbitkan Rabu, 30 Desember 2020
Link:https://www.facebook.com/113425948700379/posts/3686363238073281/?app=fbl