Soal:
بعض الأدباء يؤلفون قصصاً ذات مغزى، وبأسلوبٍ جذاب مما يكون له الأثر في نفوس القراء، ولكنها من نسج الخيال ما حكم ذلك؟
Sebagian sastrawan membuat kisah-kisah yang isinya bermanfaat dan disampaikan dengan gaya yang menarik, yang memiliki kesan tersendiri pada pembacanya. Namun kisah tersebut hanya fiksi semata. Apa hukumnya?
Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin menjawab:
لا بأس بها، لا بأس بذلك إذا كان يعالج مشاكل دينية أو خلقية أو اجتماعية؛ لأن ضرب الأمثال بقصصٍ مفروضة غير واقعة لا بأس به، حتى إن بعض العلماء ذكر ذلك في بعض أمثلة القرآن الكريم أنها ليست واقعة لكن الله ضربها مثل قوله تعالى: ﴿ضرب الله مثلاً رجلين أحدهما أبكم لا يقدر على شيء وهو كل على مولاه أينما يوجهه لا يأتي بخيرٍ هل يستوي هو ومن يأمر بالعدل وهو على صراطٍ مستقيم﴾
Ini tidak mengapa. Selama kisah seperti ini bisa membantu memperbaiki masalah-masalah seputar agama, akhlak dan sosial di tengah masyarakat. Karena membuat permisalan dengan kisah-kisah fiksi yang tidak terjadi secara nyata, ini bolehkan. Bahkan sebagian ulama mengatakan, bahwa sebagian permisalan di dalam Al Qur’an Al Karim itu tidak terjadi secara nyata. Namun Allah sampaikan sekedar untuk permisalan saja. Allah ta’ala berfirman (yang artinya) : “Dan Allah membuat (pula) perumpamaan: dua orang lelaki yang seorang bisu, tidak dapat berbuat sesuatupun dan dia menjadi beban atas penanggungnya, ke mana saja dia disuruh oleh penanggungnya itu, dia tidak dapat mendatangkan suatu kebajikan pun. Samakah orang itu dengan orang yang menyuruh berbuat keadilan, dan dia berada pula di atas jalan yang lurus?” (QS. An Nahl: 76).
فلا أرى في هذا بأساً؛ لأن المقصود هو التحذير، ولكن إن حصل أن يكون عند الإنسان علمٌ من الكتاب والسنة ثم يعرض آيات فيها معالجة مشاكل ويشرحها ويفسرها ويضرب مثل عليها فهو خير، وكذلك يذكر أحاديث فيفسرها ويضرب المثل عليها هذا أحسن بلا شك.
Maka menurut saya perkara tersebut tidaklah mengapa. Karena maksud dari cerita fiksi tersebut adalah tahdzir (memberi peringatan). Namun jika seseorang punya ilmu tentang Al Qur’an dan As Sunnah, kemudian ia sampaikan ayat-ayat dalam kisah fiksi tersebut, yang dapat memperbaiki keadaan masyarakat. Atau ia menjelaskan (ayat Al Qur’an) dalam kisah tersebut, atau menafsirkannya, dan membuat permisalan tentangnya, maka ini baik. Demikian juga jika ia menyebutkan hadits-hadits, lalu menjelaskannya, lalu membuat permisalan tentangnya, maka ini baik tanpa diragukan lagi.
Sumber:
https://binothaimeen.net/content/12877
CATATAN:
Fatwa beliau ini tentu maksudnya selama sandiwara tersebut tidak terdapat pelanggaran syariat seperti: menampilkan wanita dengan terbuka aurat atau berpotensi fitnah, terdapat musik, dan lainnya.
Sebagian ulama melarang berdakwah melalui kisah fiktif atau sandiwara, diantaranya yang melarang adalah Syaikh Shalih Al Fauzan. Syaikh Dr. Khalid Al Mushlih juga mengatakan, lebih utama untuk dihindari. Lain waktu akan kami terjemahkan juga fatwanya.
Namun ‘ala kulli haal, ini masalah khilafiyyah ijtihadiyyah. Yang kita hendaknya bersikap lapang dalam menyikapi pendapat yang berbeda. Mengkritik boleh, mengingkari jangan. Orang yang melakukannya, tidak kita katakan ahlul bid’ah, menyimpang ataupun tidak kokoh.
Dan Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin tidak diragukan lagi teguhnya beliau di atas Al Qur’an dan As Sunnah dan tidak diragukan lagi kefaqihan beliau.
Maka sebagian ustadz dan ikhwah yang berdakwah melalui video-video pendek dengan setting sandiwara, kita toleransi dan tidak kita ingkari. Semoga Allah jadikan sebagai sebab hidayah bagi kita semua.
Wallahu a’lam.
Status Ustadz Yulian Purnama حفظه الله تعالى.
Diterbitkan Senin, 28 September 2020
Link: https://web.facebook.com/yulian.purnama