Apa Niat Anda Bertanya?

Kalau ada si Fulan yang tersesat jalan, dia bingung jalan menuju ke kota X itu ke kanan atau ke kiri. Kemudian Fulan tanya orang setempat, “Pak, jalan ke kota X itu kanan atau kiri?”.

Penduduk setempat menjawab, “o0o, itu ke kanan pak!”. Lalu Fulan ternyata menjawab, “Lho koq ke kanan sih, harusnya ke kiri dong!”.

Tentu semua orang akan setuju si Fulan ini aneh bin ngga jelas! Dia tanya, sudah dijawab koq malah punya jawaban sendiri.

Ilustrasi di atas juga sering terjadi dalam pertanyaan-pertanyaan masalah agama. Sebagian orang ketika bertanya suatu masalah, kepada orang yang dianggap berilmu dan bisa menjawab dengan ilmu, kemudian si ahli ilmu ini menjawab dengan jawaban A. Ternyata si penanya sontak kaget dan tidak terima, karena ia merasa seharusnya jawabannya B.

Maka saya katakan, “Kalo gitu caranya, kenapa ente segala pake nanya? Kalo ternyata sudah punya jawaban sendiri!”.

Ini namanya, nanya untuk cari pembenaran, bukan cari kebenaran. Dia nanya kepada ahli ilmu, tapi inginnya dia jawabannya sesuai dengan selera dia, sesuai hawa nafsu dia.

Syaikh Abdullah bin Shalih Al Fauzan menjelaskan:

إن المقلد يجب عليه تقليد المفتي لقصور عن إدراك الأحكام من أدلتها… في جواب المفتي عن السؤال الموجه إليه من المستفتي. و معنى تقليده : قبول قوله و العمل به

“Orang yang berstatus muqallid (bukan mujtahid) wajib taqlid kepada mufti (ulama yang berfatwa). Karena ia tidak punya kemampuan untuk mengetahui hukum syar’i dari dalil-dalilnya… Ia wajib menaati jawaban sang mufti terhadap pertanyaan yang ia ajukan. Dan makna “wajib taqlid” di sini adalah wajib menerima jawaban tersebut dan mengamalkannya” (Syarhul Waraqat, hal. 211).

Demikianlah adabnya orang yang bertanya. Dan ini sesuai dengan akal sehat. Ketika ia bertanya kepada orang yang dianggap tahu dan punya ilmu, berarti ia menganggap jawaban yang akan keluar adalah jawaban yang didasari ilmu dan informasi yang benar. Berarti dia hendaknya menerima jawaban tersebut.

Jika sejak awal ia menganggap orang tersebut tidak berilmu dan jawaban yang akan keluar adalah jawaban yang tidak didasari ilmu, maka untuk apa bertanya??

Boleh saja mencari second opinion, jika memang jawaban yang pertama meragukan dari sisi dalil dan kekuatan pendalilan. Syaikh Shalih Alu Asy Syaikh berkata:

إذا كان عند المرء معرفة ببعض الأدلة ونحو ذلك فأشكل عليه الجواب من جهة الدليل فإنّ له أن يسأل غيره لأنه ما اقنع بالجواب لا من جهة عدم مناسبته لحاله أو من جهة صعوبة الجواب أو أنه لا يناسب أو يريد أن يبحث عمن يخفف له؟ لا؛ ولكن من جهة أنه استشكل هل هذا حكم الله جلّ وعلا وحكم رسوله – صلى الله عليه وسلم – في المسألة أم لا؟ لفهمه من بعض الأدلة والأحاديث خلاف ذلك

“Terkadang anda boleh bertanya kepada lebih dari satu orang, jika jawaban pertama itu meragukan dari sisi dalil. Yaitu jika penanya memiliki sedikit ilmu tentang dalil lalu jawaban pertama agak meragukan dari sisi dalil, maka boleh bertanya kepada yang lain. Karena dalam hal ini, bukan karena jawaban tersebut tidak memuaskan, atau tidak cocok dengan kondisinya, atau karena jawaban tersebut sulit mengamalkannya, atau karena ingin mencari-cari jawaban yang paling enak dan ringan. Tidak demikian! Namun dari sisi adanya keraguan apakah jawaban tersebut memang benar-benar sesuai dengan apa yang diputuskan oleh Allah dan Rasul-Nya Shallallahu’alaihi Wasallam atau tidak? Ini terjadi tentunya jika penanya tahu sebagian dalil yang bertentangan dengan jawaban pertama” (Adabus Su’al, hal. 9).

Maka mencari second opinion boleh saja, namun bukan untuk mencari jawaban yang enak dan sesuai hawa nafsu pribadi. Bukan untuk mencari pembenaran. Namun karena adanya keraguan dari sisi dalil yang ada pada jawaban pertama.

Adapun mencari jawaban yang enak-enak dan sesuai dengan selera pribadi, maka ini tatabbu’ rukhas yang telah diperingatkan para ulama. Sulaiman At Taimi rahimahullah berkata,

لَوْ أَخَذْتَ بِرُخْصَةِ كُلِّ عَالِمٍ ، أَوْ زَلَّةِ كُلِّ عَالِمٍ ، اجْتَمَعَ فِيكَ الشَّرُّ كُلُّهُ

“Andai engkau mengambil pendapat yang mudah-mudah saja dari para ulama, atau mengambil setiap ketergelinciran dari pendapat para ulama, pasti akan terkumpul padamu seluruh keburukan” (Diriwayatkan oleh Abu Nu’aim dalam Hilyatul Auliya, 3172)

Maka, cek lagi apa niat anda bertanya? Untuk mencari kebenaran ataukah untuk mencari pembenaran semata?

Semoga Allah ta’ala memberi taufik.

 

Ditulis Ustadz Yulian Purnama حفظه الله تعالى.

Diterbitkan Sabtu, 26 Desember 2020

Link: https://web.facebook.com/yulian.purnama