Kita mengetahui Allah ta’ala menetapkan bahwa Ia istiwa’ di atas ‘Arsy. Dan ini adalah aqidah Ahlussunnah wal Jama’ah dan merupakan ijma salaf dan imam Ahlussunnah. Tidak ada khilaf di antara mereka. Dalam 7 surat, yaitu Al-A’raf ayat 54, surat Yunus ayat 3, surat Ar-Ra’d ayat 2, surat Al-Furqan ayat 59, surat As-Sajdah ayat 4 dan surat Al-Hadid ayat 4, Allah ta’ala berfirman:
ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ
“Kemudian Dia (Allah) istiwa’ di atas ‘Arsy”.
Di sisi lain, Allah ta’ala juga berfirman bahwa Ia dekat bersama hamba-Nya. Allah ta’ala berfirman:
وَهُوَ مَعَكُمْ أَيْنَ مَا كُنتُمْ ۚ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ
“Dan Dia (Allah) bersama kalian di mana pun kalian berada. Dan Allah Maha Melihat apa yang kalian ketahui” (QS. Al Hadid: 4).
Allah juga berfirman:
وَنَحْنُ أَقْرَبُ إِلَيْهِ مِنْ حَبْلِ الْوَرِيدِ
“Dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya” (Qaaf : 16).
Ayat-ayat ini disebut juga ayat-ayat ma’iyyah. Ma’iyyah artinya kebersamaan. Karena ayat-ayat ini menetapkan bahwa Allah dekat bersama hamba-Nya.
Lalu bagaimana memahami hal ini? Allah di atas ‘Arsy ataukah dekat bersama kita?
Simak penjelasan Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin berikut ini. Beliau mengatakan:
“Jika ada yang bertanya: “Bagaimana kita mengkompromi antara sifat al ‘Uluw (Maha Tinggi) dengan al Ma’iyyah (bersama hamba-Nya)?”. Maka kita jawab dari tiga sisi:
PERTAMA: Allah ta’ala telah mensifati diri-Nya dengan kedua sifat tersebut, yaitu bahwa Ia Maha Tinggi dan bersama hamba-Nya. Dan tidak mungkin Allah menggabungkan dua hal yang bertentangan pada diri-Nya. Sehingga ketika Allah mengumpulkan dua sifat tersebut para diri-Nya, ini menunjukkan bahwa hal tersebut adalah hal yang bisa dikumpulkan pada diri Allah. Karena dua hal yang bertentangan tidak mungkin bisa digabungkan.
Sedangkan Allah ta’ala mensifati diri-Nya dengan sifat yang pertama dan kedua. Allah berfirman:
ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ
“Kemudian Dia (Allah) istiwa’ di atas ‘Arsy”.
Untuk sifat yang kedua, Ia berfirman:
وَهُوَ مَعَكُمْ أَيْنَ مَا كُنتُمْ
“Dan Dia (Allah) bersama kalian di mana pun kalian berada”.
Ketika Allah mengumpulkan dua sifat tersebut para diri-Nya, ini menunjukkan bahwa dua sifat tersebut tidak bertentangan. Karena dua hal yang bertentangan tidak mungkin bisa digabungkan.
KEDUA: Sifat al ‘Uluw (Maha Tinggi) tidak menafikan sifat al Ma’iyyah (bersama hamba-Nya). Oleh karena itu, di antara gaya bahasa yang biasa diucapkan oleh orang Arab adalah:
مازلنا نسير و القمر معنا
“Selama kami berjalan, sang rembulan senantiasa bersama kami”.
Atau mereka mengatakan:
مازلنا نسير و النجم الفلاني معنا
“Selama kami berjalan, bintang itu senantiasa bersama kami”.
Bulan itu tinggi, namun disifati “bersama kita” dalam bahasa Arab. Ini sebagaimana penjelasan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam kitab al Aqidah al Wasithiyyah. Demikian juga beliau sebutkan hal ini dalam kitab al Fatawa al Hamawiyyah dan kitab-kitab beliau yang lain.
KETIGA: Jika kita asumsikan bahwa dua sifat di atas itu bertentangan dan mustahil jika diterapkan pada makhluk, maka tidak berarti berlaku hal yang sama pada diri al Khaliq (Allah). Karena Allah itu tidak ada yang semisal dengan-Nya.
Maka tidak boleh meng-qiyaskan Allah dengan makhluk-Nya. Sesuatu yang mustahil bagi makhluk, tidak berarti itu mustahil juga bagi Allah. Dan sesuatu yang mustahil bagi Allah, tidak berarti itu mustahil juga bagi makhluk. Bukankah Allah itu tidak tidur dan tidak mengantuk? Sedangkan makhluk tidur dan mengantuk?
Demikian juga, manusia tidak layak disifati dengan at takabbur (Maha Agung), sedangkan Allah disifati dengan sifat tersebut dan itu merupakan kesempurnaan bagi Allah”.
(Syarah Aqidah Ahlissunnah wal Jama’ah, 200 – 201).
Beliau juga menjelaskan:
“Tidak layak bagi Allah jika kita memahami bahwa sifat al Ma’iyyah (bersama hamba-Nya) itu artinya Allah bercampur dengan hamba dan menyatu tempatnya dengan hamba, sebagaimana perkataan Jahmiyah.
Oleh karena itu, ketika akidah yang bid’ah dan sesat ini mulai menyebar, para salaf gencar menjelaskan bahwa:
هو معنا بعلمه
“Allah itu bersama kita dengan ilmu-Nya”.
Mereka menafsirkan al Ma’iyyah dengan kelazimannya, yaitu ilmu. Walaupun kelaziman dari ma’iyyah tidak hanya ilmu saja.
Sebagaimana ini ditegaskan oleh Ibnu Katsir rahimahullah dalam Tafsir Ibnu Katsir, juga ditegaskan oleh Ibnu Rajab rahimahullah dalam Jami’ Al ‘Ulum wal Hikam. Yaitu, bahwa Allah bersama kita dengan ilmu-Nya, pendengaran-Nya, penglihatan-Nya, kekuasaan-Nya, kekuatan-Nya, rububiyah-Nya dan sifat-sifat rububiyah lainnya. Namun para salaf menafsirkan al Ma’iyyah dengan ilmu dalam rangka membantah Jahmiyyah yang mengatakan bahwa dzat Allah bersatu bersama kita”
(Syarah Aqidah Ahlissunnah wal Jama’ah, 201 – 202).
Kesimpulannya, Allah ta’ala Maha Tinggi beristiwa’ di atas ‘Arsy, namun juga Ia senantiasa dekat bersama kita dengan ilmu-Nya, yaitu Ia selalu mengetahui apa yang kita lakukan.
Wallahu a’lam.
Status Ustadz Yulian Purnama حفظه الله تعالى.
Diterbitkan Rabu, 28 Oktober 2020