Ahlussunah paling mengerti kedudukan akhlak dalam agama. Ahlussunah menempatkan urusan akhlak di maqam yang tinggi.
Lihat bagaimana Ibnu Taimiyyah memaparkan masalah akhlak dan penyucian jiwa di bagian akhir risalah Aqidahnya, _al-Waasithiyyah._ Bacalah bagaimana ash-Shaabuuni menutup kitab aqidahnya, _’Aqiidatus Salaf wa Ash-haabil Hadiits,_ dengan pembahasan akhlak dan penyucian jiwa. Lihat bagaimana hal serupa juga dilakukan oleh; al-Ismaa’iily dalam _I’tiqood A-immatil Hadiits,_ al-Muzani dalam _Syarhus Sunnah,_ dan Ibnu Bathtah dalam _al-Ibaanatu ash-Shughraa._ Itu semua adalah kitab-kitab aqidah, namun di bagian akhir kitab, mereka berbicara tentang akhlak dan pentingnya kesucian jiwa, kesucian lahir dan batin. Karena memang, akhlak tidak bisa dipisahkan dari aqidah shahihah.
Renungkan bagaimana Allah menyifatkan orang yang menghardik anak yatim sebagai orang yang mendustakan agama _(yukadz-dzibu bid-diin)_ dalam Surat al-Ma’un. Renungkan juga bagaimana Allah menyifati orang yang tidak mendorong selainnya untuk memberi si miskin makan sebagai orang yang tidak beriman kepada Allah (QS. al-Haqqoh: 33-34). Ini semua menunjukkan keterikatan hubungan antara aqidah dan akhlak yang sangat kuat di mata Islam.
****
Sebaliknya, jangan sampai salah kaprah. Aqidah shahihah juga tidak bisa dilepaskan dari akhlak. Simak ungkapan indah dari Syaikh Prof. Dr. Shaalih Sindi berikut ini. Beliau sampaikan kalimat ini di akhir kajian beliau membahas kitab _al-‘Aqiidah al-Waasithiyyah_;
يظن بعض الناس أن الصلابة في السنة والاتباع لمنهج السلف الصالح ملازم لشراسة الخلق وبذاءة اللسان ! وحاشا وكلا ، بل كلما كان الإنسان أصلب في السنة وأعظم اتباعا لمنهج السلف الصالح كان أكثر الناس أخذا بمحاسن الأخلاق ومعالي الأمور واتباعا للرفق ، حتى وإن هجر أو زجر أو رد فإنه لا يمكن أن يتخلى عن آدابه ورفقه وأخلاقه ؛ لأن المتبع للسلف الصالح حقاً أحرص الناس على هداية الخلق ، لذا هو يبذل ما يستطيع في سبيل هدايتهم ، فهو أعلم بالحق وأرحم بالخلق
Sebagian orang menyangka bahwasanya ketegaran di dalam sunnah dan mengikuti manhaj as-Salafus Shaalih, mengharuskan akhlak yang buruk dan lisan yang keji. Sama sekali tidak..!! Bahkan semakin seseorang tegar di dalam sunnah dan semakin besar ittiba’nya pada manhaj salaf, maka semakin agung pula akhlak, keluhuran adab, dan kelembutannya. Bahkan pun di saat dia memboikot, men-tahdziir, dan membantah (penyimpangan), dia tidak mungkin lepas dari adab, kelembutan, dan akhlaknya. Sebab pengikut as Salafus Shaalih yang sejati, mereka adalah orang yang paling antusias menginginkan hidayah bagi manusia. Untuk itu, mereka menempuh segala jalan (syar’i) yang mereka mampu tempuh demi mewujudkan hidayah tersebut untuk mereka. Ahlussunnah adalah yang paling mengenal kebenaran, dan paling welas asih kepada manusia.
****
Alhasil, keluhuran akhlak adalah buah pasti dari aqidah yang lurus dan tulus. Keduanya tidak bisa dipisahkan. Semakin kuat aqidah seseorang di atas aqidah dan manhaj yang haq, semakin agung pula akhlaknya, tambah menjulang pula keluhuran adabnya.
Akhlak yang buruk adalah indikasi kuat; masih adanya cacat dalam aqidah atau masih ada noktah pada tauhid seseorang. Menampakkan akhlak yang baik namun memendam aqidah yang busuk, adalah sebingkai kemunafikan, akhlaknya jadi tak berarti, sia-sia belaka. Lambat laun, bau busuknya akan tercium juga.
Wallahu a’lam.
Ditulis Ustadz Johan Saputra Halim حفظه الله تعالى.
Diterbitkan Minggu, 18 Oktober 2020