Ketahuilah bahwa agama Islam adalah agama yang lengkap dan sempurna. Tidak ada sesuatupun yang dibutuhkan oleh manusia kecuali agama Islam telah menjelaskannya, di antaranya adalah adab-adab buang hajat. Agama Islam telah menjelaskannya secara rinci. Berikut adab-adab buang hajat, baik buang air kecil maupun buang air besar:
1. Hendaklah ia menutup diri dan menjauh dari manusia, lebih-lebih lagi saat buang hajat di tempat terbuka.
Jabir radiallahuanhu berkata:
خَرَجْنَا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي سَفَرٍ وَكَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا يَأْتِي الْبَرَازَ حَتَّى يَتَغَيَّبَ فَلَا يُرَى
“Kami keluar bersama Rasulullah shalallahu alaihi wassallam dalam suatu perjalanan, tidaklah Rasulullah mendatangi tempat buang air kecuali beliau pergi menghilang dan tidak terlihat.” (HR. Abu Dawud dan Ibnu Majah)
2. Tidak membawa sesuatu yang bertuliskan nama Allah.
Hal ini sebagai bentuk pengagungan terhadap nama Allah sebagaimana yang telah kita ketahui dalam ajaran agama ini. Allah berfirman:
ذَلِكَ وَمَنْ يُعَظِّمْ شَعَائِرَ اللَّهِ فَإِنَّهَا مِنْ تَقْوَى الْقُلُوبِ
“Demikianlah (perintah Allah). Dan barangsiapa mengagungkan syi’ar-syi’ar Allah, maka sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan hati.” (QS. Al-Hajj: 32)
Diriwayatkan dari Anas radiallahuanhu:
“Rasulullah shalallahu alaihi wassallam jika hendak memasuki tempat buang hajat, beliau mencopot cincinnya.” (HR. Abu Dawud, Tirmidzi, Nasai, dan Ibnu Majah)
Cincin Nabi shalallahu alaihi wassallam bertuliskan “Muhammad Rasulullah.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Namun jika ia khawatir sesuatu yang bertuliskan nama Allah itu akan hilang bila diletakkan di luar, maka ia boleh membawanya masuk dengan cara disembunyikan, seperti diletakkan di dalam saku dan sejenisnya.
Imam Ahmad rahimahullah menjelaskan: “Jika mau ia boleh menggengamnya dengan tangan.”
3. Membaca basmalah dan isti’adzah ketika hendak memasuki tempat buang hajat.
Dasarnya adalah sabda Nabi shalallahu alaihi wassallam:
سَتْرُ مَا بَيْنَ أَعْيُنِ الْجِنِّ وَعَوْرَاتِ بَنِي آدَمَ إِذَا دَخَلَ أَحَدُهُمْ الْخَلَاءَ أَنْ يَقُولَ بِسْمِ اللَّهِ
“Penghalang antara pandangan jin dan aurat anak Adam ketika salah seorang dari mereka masuk ke toilet ialah mengucapkan; Bismillah.” (HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah, dan dishahihkan oleh Syaikh al-Albani)
Dari Anas radiallahuanhu, ia berkata, “Jika Rasulullah shalallahu alaihi wassallam masuk ke tempat buang hajat, beliau membaca:
اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ الْخُبُثِ وَالْخَبَائِثِ
“Aku berlindung kepada Allah dari setan laki-laki dan setan perempuan.” (HR. Bukhari dan Muslim)
4. Membaca (غُفْرَانَكَ) tatkala keluar dari tempat buang hajat.
Aisyah radiallahuanha berkata:
كَانَ رَسُوْلُ اللهِ إِذَا خَرَجَ مِنَ الْغَائِطِ قَالَ: غُفْرَانَكَ.
“Jika Nabi shalallahu alaihi wassallam keluar dari tempat buang hajat, beliau mengucapkan, ‘Ya Allah, aku mengharap ampunan-Mu’.” (HR. Tirmidzi, Abu Dawud, dan Ahmad)
5. Mendahulukan kaki kiri saat masuk tempat buang hajat, dan kaki kanan saat keluar.
Imam Syaukani rahimahullah berkata: “Adapun mendahulukan kaki kiri saat masuk dan kaki kanan saat keluar, ada benarnya. Karena disukai mendahulukan yang kanan untuk hal-hal yang mulia, dan yang kiri untuk hal-hal yang tidak mulia. Banyak dalil yang menunjukkan hal itu.” (As-Sail al-Jarar 1/64)
Di antaranya hadits Aisyah radiallahuanha, ia berkata:
كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُعْجِبُهُ التَّيَمُّنُ فِي تَنَعُّلِهِ وَتَرَجُّلِهِ وَطُهُورِهِ وَفِي شَأْنِهِ كُلِّهِ
“Nabi shalallahu alaihi wassallam suka mendahulukan bagian kanan saat memakai sandal, menyisir rambut, bersuci, dan dalam segala hal.” (HR. Ahmad)
6. Tidak boleh menghadap atau membelakangi kiblat saat buang hajat.
Dari Abu Ayyub Al-Anshari radiallahuanhu, dari Nabi shalallahu alaihi wassallam, beliau bersabda:
إِذَا أَتَيْتُمْ الْغَائِطَ فَلَا تَسْتَقْبِلُوا الْقِبْلَةَ وَلَا تَسْتَدْبِرُوهَا وَلَكِنْ شَرِّقُوا أَوْ غَرِّبُوا
“Bila kalian buang air besar, janganlah menghadap kiblat dan jangan pula membelakanginya. Akan tetapi menghadaplah ke timur atau ke barat.”
Abu Ayyub berkata, “Kami pergi ke Syam, kami dapati banyak WC dibangun menghadap kiblat. Kami pun miring darinya dan meminta ampun kepada Allah.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Sabda Nabi shalallahu alaihi wassallam “Akan tetapi menghadaplah ke timur atau ke barat”. Ini khusus bagi penduduk Madinah, karena kiblat penduduk Madinah di arah selatan. Apabila mereka menghadap timur atau barat ketika buang hajat, maka mereka tidak menghadap kiblat dan tidak pula membelakanginya. Termasuk di dalamnya orang-orang yang arah kiblatnya sama dengan penduduk Madinah, seperti penduduk Syam dan Yaman. Adapun orang-orang yang arah kiblatnya menghadap timur atau barat, maka dilarang buang hajat menghadap timur atau barat atau membelakanginya.
7. Jika buang hajat di tempat terbuka, hendaknya mengangkat pakaian setelah pantat dekat dengan tanah agar aurat tidak terlihat.
Hal ini berdasarkan hadits Ibnu Umar radiallahuanhuma:
أَنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- كَانَ إِذَا أَرَادَ حَاجَةً لاَ يَرْفَعُ ثَوْبَهُ حَتَّى يَدْنُوَ مِنَ الأَرْضِ
“Bahwasanya Nabi shalallahu alaihi wassallam bila hendak buang hajat, beliau tidak mengangkat pakaiannya melainkan setelah dekat dengan tanah.” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi)
8. Tidak berbicara secara mutlak, kecuali bila ada keperluan.
Diriwayatkan dari Abdullah bin Umar radiallahuanhuma:
مَرَّ رَجُلٌ عَلَى النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- وَهُوَ يَبُولُ فَسَلَّمَ عَلَيْهِ فَلَمْ يَرُدَّ عَلَيْهِ
“Seorang lelaki berpapasan dengan Nabi shalallahu alaihi wassallam, sementara beliau sedang buang air kecil. Lelaki itu mengucapkan salam kepada beliau, namun beliau tidak membalas salamnya.” (HR. Muslim)
Menjawab salam hukumnya wajib. Tetapi beliau meninggalkannya, ini menunjukkan atas haramnya berbicara pada saat buang hajat, lebih-lebih lagi jika menyebut nama Allah. Akan tetapi jika berbicara karena suatu keperluan yang harus dilakukan , seperti meminta air dan selainnya maka hal itu diperbolehkan dikarenakan adanya keperluan.
9. Menjauhi buang hajat di jalan yang dilalui manusia dan tempat berteduh mereka.
Dari Abu Hurairah radiallahuanhu bahwasanya Nabi shalallahu alaihi wassallam bersabda:
اتَّقُوا اللاَّعِنَيْنِ. قَالُوا: وَمَا اللاَّعِنَانِ يَا رَسُولَ اللَّهِ ؟ قَالَ الَّذِى يَتَخَلَّى فِى طَرِيقِ النَّاسِ أَوْ ظِلِّهِمْ
“Jauhilah dua perkara yang mengundang laknat. Mereka bertanya, Apakah dua perkara yang mungundang laknat itu, wahai Rasulullah ? Beliau menjawab, ‘Orang yang buang hajat di jalan yang biasa dilewati manusia atau di tempat berteduh mereka’.” (HR. Muslim)
10. Menghindari buang air kecil di tempat mandi, apalagi jika air tidak dapat mengalir. Karena Nabi shalallahu alaihi wassallam melarang seseorang buang air kecil di tempat mandinya. Dari Humaid al-Himyari, ia berkata, “Aku menjumpai seseorang yang telah menyertai Rasulullah sebagaimana Abu Hurairah menyertainya. Ia berkata:
نَهَى رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- أَنْ يَمْتَشِطَ أَحَدُنَا كُلَّ يَوْمٍ أَوْ يَبُولَ فِى مُغْتَسَلِهِ
“Rasulullah shalallahu alaihi wassallam melarang salah seorang dari kami bersisir setiap hari dan kencing di tempat mandinya.” (HR. Nasai dan Abu Dawud)
11. Menghindari buang air kecil di air yang diam yang tidak mengalir.
Diriwayatkan dari Jabir radiallahuanhu, dari Nabi shalallahu alaihi wassallam:
أَنَّهُ نَهَى أَنْ يُبَالَ فِى الْمَاءِ الرَّاكِدِ
“Bahwasanya beliau melarang kencing di air yang diam (tidak mengalir).” (HR. Muslim)
12. Boleh kencing sambil berdiri, hanya saja kencing sambil duduk lebih utama.
Dari Hudzaifah radiallahuanhu, ia berkata:
كُنْتُ مَعَ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- فَانْتَهَى إِلَى سُبَاطَةِ قَوْمٍ فَبَالَ قَائِمًا فَتَنَحَّيْتُ فَقَالَ: ادْنُهْ فَدَنَوْتُ حَتَّى قُمْتُ عِنْدَ عَقِبَيْهِ فَتَوَضَّأَ فَمَسَحَ عَلَى خُفَّيْهِ
“Aku pernah bersama Nabi shalallahu alaihi wassallam, lalu sampailah beliau di tempat pembuangan sampah suatu kaum, kemudian beliau kencing sambil berdiri, maka aku pun menjauh. Beliau lantas berkata, ‘Mendekatlah’ Lalu aku mendekat hingga aku berdiri dekat kaki beliau. Beliau kemudian berwudhu dan membasuh bagian atas kedua sepatunya.” (Muttafaq alaihi)
Kami katakan bahwa duduk lebih utama karena demikianlah yang sering beliau lakukan, bahkan Aisyah radiallahuanha berkata:
مَنْ حَدَّثَكُمْ أَنَّ رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَالَ قَائِمًا فَلَا تُصَدِّقُوهُ مَا كَانَ يَبُولُ إِلَّا جَالِسًا
“Barangsiapa mengatakan kepada kalian bahwa Rasulullah shalallahu alaihi wassallam kencing sambil berdiri, maka janganlah kalian mempercayainya. Beliau tidak pernah kencing melainkan sambil duduk.” (HR. Nasai dan Tirmidzi)
Perkataan Aisyah radiallahuanha tidak menafikan apa yang disampaikan oleh Hudzaifah radiallahuanhu. Karena Aisyah radiallahuanha hanya menyampaikan apa yang ia lihat. Dan Hudzaifah raduallahuanhu juga mengabarkan apa yang ia saksikan. Sebagaimana diketahui (dalam kaidah) bahwa yang menetapkan lebih diutamakan daripada yang menafikan. Sebab pada yang menetapkan terdapat tambahan ilmu.
13. Wajib istinja setelah buang hajat. Silahkan lihat pembahasan istinja dan adab-adabnya yang telah kami jelaskan.
Status Ustadz Amir As-Soronji, Lc., M.Pd.I
Diterbitkan pada 5 Juli 2021
Diterbitkan pada 5 Juli 2021